BROMO WAKTU MUSIM HUJAN

12:28:00




Berlibur kadang tak mengenal musim. Tak semua orang bisa memastikan waktu luangnya jatuh pada musim kemarau atau musim hujan. Ada yang bilang bahwa kesempatan biasanya tak datang dua kali. Saya salah satunya. Itulah mengapa saya mengiyakan ajakan kawan-kawan saya untuk menjelajahi Bromo pada musim hujan. Segala ekspektasi tentang Bromo saya turunkan sampai ke titik terburuk. Yang penting adalah kebersamaan. Itu yang mahal, Bro.


Kami berangkat berdelapan dari Bojonegoro. Sengaja kami pilih Sabtu pagi supaya tak terburu-buru dalam perjalanan. Selain itu, kami memang berencana menginap di lereng Bromo di kawasan Probolinggo supaya cukup istirahat sebelum menjemput sunrise. Sekitar pukul 15.00 kami sudah berada di sebuah penginapan. Semakin gelap hari, semakin dingin cuaca.

Sekitar pukul 03.00 dinihari, kami bangun dan bersiap-siap menuju penanjakan 1 untuk menyaksikan panorama matahari terbit. Beberapa teman yang belum pernah ke Bromo tampak antusias. Kami sudah mengenakan jaket tebal, syal, dan topi rajut yang kami beli dari penjaja di sekitar penginapan sore tadi.

Kabut tebal menutupi view sunrise di penanjakan.

Dua Jeep membawa kami menembus pekatnya pagi. Tak ada yang bisa kami lihat di sepanjang perjalanan. Semua gelap dan tertutup kabut. Kami hanya bisa merelakan tubuh kami terguncang-guncang sembari sesekali membenahi posisi duduk di jok Jeep yang tak terlalu empuk itu. Sekitar 30 menit kemudian, Jeep mulai mengurangi kecepatan. Ternyata jalan menuju puncak telah padat oleh Jeep-Jeep lain yang telah datang lebih dulu.

Kami pun diminta turun dari Jeep. Kata si Bapak Sopir, kami harus jalan kaki sekitar 200 meter untuk sampai di penanjakan 1. Sejumlah tukang ojek menawarkan jasa. Jalan yang menanjak dan boleh bonceng dua penumpang menjadi alasan beberapa rekan untuk naik ojek. Tarifnya Rp 50.000, padahal ternyata dekat sekali. No problemo, amal pagi-pagi untuk abang tukang ojek.

Puncak Gunung Batok pun tertutup kabut

Demi view ini, kami minta turun dari Jeep

Sekitar pukul 04.00, kami beristirahat di warung sambil menghangatkan tubuh. Teh hangat, jagung bakar, dan gorengan mengundang untuk disantap. Kami sengaja agak lama di sini lantaran menunggu waktu sekalian untuk salat Subuh. Ada beberapa warung yang menyediakan toilet dan musala. BTW, airnya super duper dingin.

Lepas salat Subuh, kami meniti tangga menuju spot buat menyaksikan sunrise. Karena telat naik, kami sempat kebingungan mencari tempat buat duduk. Untung ada penyewa tikar yang siap mencarikan tempat. Meski sempat berdesak-desakan dan menginjak kaki pengunjung lain, akhirnya kami dapat juga tempat buat duduk sambil menunggu matahari terbit.

Menikmati cuaca sejuk 

Pasir basah dan padat

Namun, sampai pukul 05.30, tak ada yang bisa kami lihat selain kabut putih. Panorama Gunung Batok dan Kawah Bromo yang biasanya tampak kali ini sama sekali tak terlihat. Tentu saja kami kecewa karena salah satu tujuan ke Bromo, terutama bagi teman-teman yang baru pertama ke sini, adalah menyaksikan pemandangan sunrise seperti yang banyak diunggah di Instagram.

Sampai sekitar pukul 06.00, tak ada harapan lagi matahari akan menampakkan diri. Berat kaki melangkah meninggalkan spot ini. Namun, seorang warga lokal penjaja suvenir memastikan bahwa kalau cuaca sedang begini sampai siang pun matahari belum tentu tampak. Itu artinya kabut tebal akan sangat lama menipisnya.

Bahagia dalam kebersamaan

Luapkan kegembiraan

Baiklah, kami pun sepakat kembali ke Jeep dan turun ke lautan pasir. Sampai di sana, kabut masih tebal. Kami yang jarang melihat dari dekat pemandangan seperti ini pun penasaran. Kami minta bapak pengemudi Jeep untuk berhenti. Sejenak saya, Bu Arinis, Bu Ana, dan Bu Venty berfoto-foto dengan latar savana yang berselimut kabut. Suhu dinginnya, menurut saya, terasa segar.

Selanjutnya, kami menuju kawasan Gunung Batok. Semua Jeep harus diparkir di sini. Aroma masakan dari sejumlah warung tenda menggiring kami untuk sarapan. Macam-macam menunya, mulai nasi pecel, nasi rawon, nasi campur, sayur lodeh, sampai gulai ikan, semua ada. Harganya masih masuk akal, tidak terlalu mahal, sebanding dengan perjuangan para penjaja makanan ini yang harus memboyong bahan makanan dan air bersih dari kampung mereka.

Naik gunung, siapa takut?

Foto bareng saat naik kawah

Setelah perut terisi, kami tak membuang waktu lagi. Segera kami berfoto di area Gunung Batok yang puncaknya tertutup kabut. Pada musim hujan seperti ini, lautan pasir basah dan padat. Tentu ini menguntungkan karena pasir tak terbawa angin seperti pada musim kemarau. Selain itu, kami terlindung dari panas karena sampai detik ini matahari belum juga tampak.

Sejumlah penyewa kuda menawarkan jasanya ketika kami berjalan menuju Kawah Bromo. Merasa masih cukup kuat, kami memilih jalan kaki. Selain itu, beberapa rekan ingin mampir ke Pura Luhur Poten. Pelataran tempat ibadah umat Hindu suku Tengger ini boleh kita masuki. Namun, sebaiknya kita tidak memasuki area ibadah. FYI, di kawasan pura ini terdapat toilet umum yang pasti dibutuhkan para pengunjung Bromo.

Gunung Batok difoto dari jalan ke kawah

Ada yang bisa lihat Pura Luhur Poten di bawah?

Tangga penuh, akhirnya ada yang nanjak leat tebing

Penjelajahan belum berhenti. Kami kemudian mendaki Kawah Bromo. Namun, banyaknya pengunjung saat itu membuat tangga penuh dan antreannya cukup panjang. Entah dapat suntikan keberanian dari mana, kami (termasuk yang perempuan) nekat menaiki tebing Kawah Bromo. Padahal, teman-teman perempuan ini bukan anak gunung.

Di tengah pendakian, tebing makin terjal dan tanahnya cukup gembur. Salah langkah sedikit saja, kami bisa terpeleset. Akhirnya, saya dan Bu Ika menyerah. Kami merapat ke tangga dan ikut antre dengan pengunjung lainnya. Sedangkan Bu Arinis ternyata sukses sampai puncak lewat tebing. Wagelaseh. Big applause untuk Bu Arinis.

Meski sebelumnya sudah pernah ke Bromo, ini adalah pengalaman pertama saya naik ke puncak kawah. Begitu sampai puncak, yang pertama kali ini saya lihat adalah kawah Bromo yang kadang menyemburkan asap tebal. Namun, hari itu asapnya tipis-tipis. Bibir kawah yang hanya sejengkal menjadi jalan bagi kami untuk melihat sisi lain kawah. Namun, kami harus berbagi dengan pengunjung yang duduk-duduk di pagar pembatas kawah.

Kawah Bromo

Asapnya sedang tipis

Cuaca yang bersahabat membuat saya tergoda untuk melangkah lebih jauh. Sayang, waktu tak mengizinkan. Sebagian teman yang tak tertarik naik kawah sudah menunggu di Jeep. Akhirnya, kami turun dari kawah dan terpaksa menyewa kuda supaya lebih cepat sampai lahan parkir Jeep. Dan, ini juga pengalaman pertama saya naik kuda. Jalanan yang menurun tajam membuat saya sempat waswas. Untungnya, sang pemilik kuda memberi trik. Saat jalanan menurun, luruskan kaki ke depan untuk menjaga keseimbangan tubuh. Trik ini jitu untuk menenangkan Bu Lusi yang histeris saat pertama naik kuda.

Begitu tiba di lahan parkir, kami tancap gas ke Bukit Teletubbies. Kesan pertama kami melihat bukit ini adalah takjub. Sejauh mata memandang yang tampak adalah padang rumput hijau nan menyegarkan mata. Cuaca yang sejuk tanpa sedikit pun sinar matahari membuat kami sangat betah untuk menjelajah.

Jalan setapak di Bukit Teletubbies

Pemandangan seperti ini tidak ada pada musim kemarau

Pada puncak kemarau, padang savana ini kering

Kami pun menyusuri jalan setapak menuju lereng bukit. Padang savana dengan latar bukit-bukit hijau mengajak kami untuk istirahat sejenak. Pak Jamal, Pak Aris, dan Pak Ikhan mendirikan tenda, sementara beberapa teman, termasuk saya, mendekati seorang kakek yang menawarkan kudanya untuk disewa. Kalau hanya untuk foto, tarifnya Rp 5 ribu per orang. Tarif yang murah kan? Kami pun bergantian naik kuda dan mengabadikan diri. Meski sempat kecewa karena gagal menyaksikan sunrise, sungguh kami justru bersyukur selama berada di Bukit Teletubbies ini.

Jadi, setiap musim Bromo punya kelebihan dan kekurangan. Pada musim hujan seperti ini, kelebihannya adalah cuaca yang sangat bersahabat tanpa terik matahari, pasir basah dan padat sehingga bebas badai debu, serta padang savana dan Bukit Teletubbies sedang hijau-hijaunya. Kekurangannya, sunrise sangat mungkin tidak terlihat karena kabut tebal dan para penyuka langit biru justru akan disuguhi langit putih pucat.

Naik kuda murah meriah

Kakek penyewa kuda

Sang kakek juga menawarkan topinya untuk dipakai saat foto

Indahnya kekompakan

Sedangkan pada musim kemarau, kelebihannya adalah sunrise dengan panorama Gunung Batok dan Kawah Bromo tampak indah, langit biru jadi latar yang menawan. Kekurangannya, pasir yang kering mudah tersapu angin (dengan bonus kotoran kuda hehe), pukul 08.00 saja matahari sudah terik, serta rerumputan di padang savana dan Bukit Teletubbies kering kerontang.

Bersama ilalang-ilalang

Di antara lautan pakis


Meski begitu, Bromo tetaplah menarik. Kelihaian fotografer memilih angle membuatnya selalu memesona. Kalau pernah datang pada dua musim, justru makin lengkap pengalaman kita menjelajahi kawasan yang ditetapkan sebagai taman nasional pada 1982 ini. Jangan lupa, suasana dan kebersamaan dengan travelmate tentu menjadi pengalaman yang bisa dikenang. (*)

You Might Also Like

12 comments

  1. Wah, seru nih petualangan rekan-rekan SMASABO!

    ReplyDelete
  2. beda musim pas berkunjung, beda pengalaman tentunya. bisa jadi cerita menarik tersendiri

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Mas, saya merasa beruntung pernah ke Bromo pada musim yang berbeda.

      Delete
  3. Memang ke bromo tidak cukup 1 kali.kalau musim hujan kita bisa lihat indahnya bukit2 yg hijau serta kabut yg menambah so sweet suasana..tapi sayangnya gak dapat sunrise 😢

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betuuul, Bu Ika. Kalau ada kesempatan menjelang musim kemarau, monggo ke Bromo lagi. Hehehe.

      Delete
  4. semoga maret ini kesampaian untuk ke Beromo.pengen banget ke sana. kalo Maret sudah musim kemarau berarti ya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Maret insya Allah sudah ga hujan, Kak. Semoga jadi ke Bromo ya. Ditunggu kisah serunya.

      Delete
  5. Memang kalau ke Bromo musim hujan bakalan langka melihat sunrise ya Mas. Karena awan lebih suka menutupi cahaya matahari yang baru lahir itu. Tapi bagaimanapun Bromo tetap menarik di musim hujan sekalipun. Warna hijau nya keluar semua

    ReplyDelete
  6. Bromo, berkali kali kesini di musim yang berbeda.
    Baik itu musim hujan dan musim kemarau.

    Sama sama menarik, dan tidak pernah membosankan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bromo juga selalu mengundang untuk kembali :)

      Delete
  7. Wah, seru sekali perjalanan ke Gunung Bromo saat musim hujan! Pengalaman yang luar biasa, terutama dengan kabut tebal yang memberikan nuansa magis pada petualangan. Kebersamaan dan kekompakan dalam menjelajahi alam memang tak ternilai harganya, ya. Terima kasih sudah berbagi cerita seru ini! 🌄🏔️ #Bromo #WisataJawaTimur

    Salam dari Kawanjelajahtour.com

    ReplyDelete