Saya selalu
berusaha menemukan sisi baik dari apa pun yang terjadi di depan mata. Itu cara
saya untuk menikmati setiap momen. Salah satunya adalah ketika menyeberangi
Selat Bali, penghubung Pulau Bali dan Pulau Jawa. Beberapa kali saya
menyeberang dari Pelabuhan Gilimanuk, Bali, menuju Pelabuhan Ketapang,
Banyuwangi, dengan kapal feri dan kerap malam hari. Nah, Akhir April lalu, kebetulan
kapal yang saya tumpangi berlayar pada sore hari.
Namanya Pak
Syukron. Usianya sekitar 40 tahun. Beliau adalah salah satu dari ratusan penambang
belerang (sulfur) di Kawah Ijen, perbatasan Banyuwangi-Bondowoso. Aku
mengenalnya saat hendak turun ke Kawah Ijen, Sabtu 25 Oktober 2014. Saat itu beliau
menawarkan jasa sebagai pemandu. “Untuk
mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, pengunjung dilarang turun ke
kawah sendirian, Mas. Harus ada pemandu,” ujarnya.
Siapa yang tak pernah mendengar kebesaran nama Kawah Ijen atau Ijen Crater? Akhirnya, aku berada di tempat ini! Itu rasanya seperti berhasil mengalahkan diri sendiri. Maklum, perjuangan menuju puncak gunung yang terletak di perbatasan Bondowoso-Banyuwangi ini bukan hal kecil untuk aku yang baru dua kali ini naik gunung. Hehe.
Seperti yang
kami rencanakan, selepas Pulau Merah Banyuwangi, masih dalam trip Minggu, 31
Agustus 2014, destinasi kami berikutnya adalah Taman Nasional Meru Betiri. Target
utama kami Teluk Hijau yang juga kerap disebut Green Bay. Namun, ada beberapa pantai yang kami kunjungi.
Setelah
menjelajahi Tanjung Papuma Jember, tanggung rasanya kalau tidak lanjut ke
Banyuwangi. Banyak lokasi eksotis di kabupaten yang terletak di ujung paling
timur Pulau Jawa ini. Pilihanku jatuh ke Pulau Merah serta Taman Nasional Meru
Betiri yang terkenal dengan Pantai Rajegwesi dan Teluk Hijaunya.