MENEROKA JEJAK CHENG HO DI KELENTENG SAM POO KONG
18:03:00
Setelah puas berkeliling Lawang Sewu, selanjutnya saya
mengarahkan tujuan ke Sam Poo Kong. Kelenteng yang berdiri megah di kawasan Simongan
ini merupakan salah satu destinasi yang wajib dikunjungi kalau kita sedang berada
di Kota Semarang. Mau tahu mengapa? Selain menjadi tempat ibadah bagi kaum
Tridharma, bangunan ini juga menyimpan banyak bukti sejarah sebagai petilasan
seorang laksamana Tiongkok beragama Islam, Zheng He atau Cheng Ho.
Jam menunjukkan angka 11.00. Langit Kota Semarang saat itu sedang
terik menyengat. Namun, niat saya menjelajahi Sam Poo Kong sama sekali tak
menyusut. Tiket seharga Rp 10 ribu sudah di tangan. Saatnya melihat dari dekat
apa saja yang menarik di sini. Karena sendirian, saya tak punya teman diskusi
memulai dari mana. Untung ada papan informasi yang berisi denah bangunan
lengkap dengan informasi detailnya.
Berbekal informasi itulah, saya memotret bangunan demi bangunan
yang ada. Objek yang menarik perhatian saya pertama kali adalah sebuah bangunan
besar yang disebut joglo. Bangunan ini bukan tempat utama untuk beribadah. Sepertinya
ini lebih dimanfaatkan sebagai tempat acara dengan banyak pengunjung. Meski
demikian, arsitekturnya sama dengan bagian utama kelenteng, lengkap dengan hiasan
patung, warna merah menyala, serta lampion-lampion cantiknya.
![]() |
Cuaca siang itu cukup menyengat |
![]() |
Pengunjung dari beragam agama |
Rasa dahaga menggiring saya mendekati deretan pertokoan. Tak
disangka, di sini ternyata ada penyedia jasa persewaan kostum ala Tiongkok.
Bukan hanya untuk perempuan, melainkan juga untuk pria dewasa dan anak-anak.
Pasti seru kalau berfoto berlatar kelenteng dengan kostum warna-warni meriah
ini. Ada juga jasa foto. Sayangnya, saat itu saya tak bersama keluarga. Ongkos
sewanya sekitar Rp 70-100 ribu per baju. Itu belum termasuk foto. Lumayan mahal
sih, tapi buat sekali seumur hidup, bolehlah.
Sambil membasahi tenggorokan, saya duduk-duduk di bawah pohon
rindang di depan pertokoan. Kebetulan siang itu ada pertunjukan barongsai.
Genderang alat musik yang ditabuh mengundang para pengunjung lain untuk
berkerumun. Aksi para pemuda yang memainkan topeng singa dan naga ini pun
sangat menghibur pengunjung yang membawa serta keluarga. Yang saya kagumi,
mereka tampak kompak dan terlatih memainkan gerakan-gerakan akrobatik dengan
prima. Padahal, sebagian dari mereka masih berumur belasan tahun.
![]() |
Patung Laksamana Cheng Ho |
![]() |
Menjadi simbol toleransi dalam keberagaman |
![]() |
Pertunjukan barongsai yang menjadi magnet |
Nah, selajutnya, saya ingin mendekat ke area ibadah yang
dibatasi pagar setinggi dada. Karena ada beberapa pengunjung di dalam pagar,
saya berusaha menemukan jalan masuknya hingga ke ujung pagar. Namun, sampai ujung
pagar di dekat patung Laksamana Cheng Ho, tidak saya temukan jalan masuk. Ada
pintu pagar, tapi terkunci rantai. Usut punya usut, ternyata untuk masuk kawasan
ini pengunjung harus membeli tiket lagi seharga Rp 20 ribu di loket kecil dekat
pagar. Melangkahlah kembali saya ke sana.
Bangunan-bangunan di area ibadah ini bernama Kelenteng Sam
Poo Tay Djien, Kelenteng Dewa Bumi, Kelenteng Juru Mudi, dan Kelenteng Kiai
Jangkar. Masing-masing kelenteng memiliki karakter yang serupa. Bedanya hanya
pada ukuran. Kelenteng Sam Poo Tay Djien merupakan bangunan yang paling besar.
Karena itulah, interiornya paling lengkap dibanding yang lain. Demi menghormati
umat yang sedang beribadah di depan altar, saya menahan diri hanya melihat dari
luar kelenteng.
Kelenteng Sam Poo Tay Djien merupakan pusat dari seluruh
kompleks pemujaan. Di dalam kelenteng ini terdapat gua lama yang masih dijaga
kelestariannya. Di dalam gua ini terdapat sumber air yang konon tidak pernah
kering meskipun pada musim kemarau panjang. Umat yang bersembahyang umumnya
mengambil air sumber itu. Mereka percaya bahwa air ini dapat menjadi obat untuk
berbagai macam penyakit.
![]() |
Relief pelayaran Laksamana Cheng Ho |
![]() |
Kawasan ini dulu merupakan pantai |
![]() |
Terjadi akulturasi budaya Tiongkok dan Jawa |
Jangan lewatkan satu bagian penting di belakang Kelenteng Sam
Poo Tay Djien. Ada dinding panjang berhias relief yang menceritakan perjalanan
Laksamana Cheng Ho selama berlayar, lalu mendarat di Semarang, hingga kembali
melanjutkan perjalanan. Jadi, pada tahun 1416, Laksamana Cheng Ho dan rombongan
mendarat di pesisir Semarang karena ada juru mudinya yang jatuh sakit. Dia meminta
pasukannya mendirikan tempat salat di sebuah gua.
Tempat itu dinamai Gedung Batu karena bentuknya merupakan gua
batu besar. Di dalam gua tersebut terdapat patung Sam Poo Tay Djien (Laksamana
Cheng Ho) sebagai tempat bersembahyang atau berziarah. Meskipun Laksamana Cheng
Ho beragama Islam, masyarakat yang percaya menggangapnya sebagai dewa. Sejak
saat itulah, tempat salat itu berubah fungsi menjadi kelenteng. Bangunan ini
kini berada di tengah kota karena proses pendangkalan laut sehingga laut secara
alami bergeser ke arah utara.
![]() |
Gerbang belakang |
![]() |
Deretan kelenteng pemujaan |
Bukti lain bahwa di sini ada jejak keislaman adalah sebuah
prasasti beraksara Tionghoa yang berarti
“Marilah kita mengheningkan cipta dan mendengarkan bacaan Alquran”. Selain menyebarkan
ajaran Islam, Laksamana Cheng Ho juga mengajarkan cara bercocok tanama kepada
masyarakat setempat. Ketika dia harus melanjutkan pelayaran, ada anak buah
kapalnya yang tinggal dan menikah dengan perempuan setempat. Juru mudinya pun
tak turut serta. Karena itulah, pengunjung bisa menemukan makam sang juru mudi
di ujung area ibadah.
![]() |
Jika tidak beribadah, sebaiknya jangan mendekat ke altar |
![]() |
Kelenteng pemujaan utama |
![]() |
Seorang pengunjung sedang khusyuk bersembahyang |
![]() |
Setiap bagian bangunan penuh detail hiasan bermakna simbolis |
Akhirnya, sampai juga saya di ujung area ibadah. Saya harus menuruni
beberapa anak tangga. Di sini terdapat Kelenteng Kiai Jangkar, makam juru mudi,
dan penginapan. Saya mempercepat langkah karena kompleks ini sangat teduh. Pepohonan
nan rindang tumbuh subur di sana. Duduk di pelataran Kelenteng Kiai Jangkar sambil
menikmati embusan angin benar-benar mengembalikan stamina saya. Seorang bapak
tampak menyungging senyum saat melihat saya berada di dekat mereka. Dia adalah warga
setempat yang kebetulan berada di sana untuk bertugas.
Kami pun tenggelam dalam perbincangan seputar sejarah Sam Poo
Kong. Yang membuat saya takjub, ternyata saya sedang sedang berteduh di bawah
pohon yang sangat langka. Baru kali ini saya melihat ada pohon seunik ini.
Ranting-ranting pohon berdaun lebat ini tampak panjang menjuntai dan berbentuk
sama persis dengan rantai. Beberapa teman mengaku tak sempat melihat pohon ini
karena balik kanan setelah sampai di kelenteng utama.
![]() |
Pohon rantai nan langka |
![]() |
Dulu jadi rantai darurat untuk kapal nelayan |
![]() |
Belum ditemukan pohon serupa di tempat lain |
![]() |
Area ini sangat teduh |
“Ini namanya pohon rantai. Pada zaman dahulu, ranting yang
mirip rantai ini dipakai sebagai pengganti rantai kapal pada saat darurat,” ujar
bapak berambut putih itu. “Nah, kalau mau tahu, itu di dalam kelenteng ini juga
ada jangkar lambang kapal yang dipakai Laksamana Cheng Ho. Karena itulah,
tempat pemujaan ini disebut Kelenteng Kiai Jangkar,” sambungnya.
Berkunjung ke Sam Poo Kong merupakan pengalaman yang luar
biasa bagi saya. Kelenteng ini bukan hanya objek wisata religi bagi pengunjung
yang hendak beribadah. Pengunjung dengan berbagai keyakinan bisa mempelajari
sejarah, menikmati keindahan arsitekturnya, serta membuka mata tentang
toleransi dan akulturasi dalam keberagaman. Asal tahu saja, di kompleks kelenteng
ini juga terdapat musala yang terjaga kebersihannya. (*)
4 comments
Wah, salu dengan nuansa toleransi di Sam Poo Kong ini. Semoga banyak orang yang terinspirasi.
ReplyDeleteSama, saya juga salut. Indonesia ya begini seharusnya. Hidup toleransi!
Deleteitu bantang rantai pohonnya unik bener hehe
ReplyDeleteUnik dan langka. Saya baru ketemu pohon begini di sini.
Delete