MENYATU DALAM HARMONI COBAN TENGAH

18:55:00



Udara sejuk menyambut saat kami melintasi jalan aspal menuju air terjun Coban Tengah. Pohon-pohon pinus berdiri gagah menjulang di kanan dan kiri jalan. Sapuan angin menghempas kulit. Sesekali dedaunan luruh melayang jatuh. Semua seolah menyemangati kami memacu motor, membelah hutan yang sepi ini.

Manusia dikaruniai rasa ingin tahu. Lantaran rasa penasaran yang membuncah itulah, saya yang kebetulan berada di Pujon dan seorang teman semasa kuliah, Basyir, sepakat mendatangi Coban Tengah. Objek ini berada di kawasan Coban Rondo yang sudah menjadi ikon pariwisata Kabupaten Malang. Namun, sangat sedikit pengunjung yang meluangkan waktu untuk mendatangi Coban Tengah.

Bisa jadi, itu karena jalan menuju Coban Tengah tak sebagus jalan ke Coban Rondo. Benar saja. Jalan aspal hanya sekitar 500 meter dari gapura masuk Coban Tengah. Selepas itu, sekitar 1 kilometer jalanan berpasir dan menyempit. Sisa air hujan membuat pasir padat. Beberapa jalan bergelombang dan berupa genangan, memaksa kami berhati-hati. 

Saya dan gapura Coban Tengah
Pesan menggelitik di samping gapura
Namun, pemandangan yang tersaji pagi itu mampu mengalihkan perhatian. Hutan pinus berganti tebing-tebing tinggi berbalut pepohonan hijau. Suara serangga hutan yang bersahut-sahutan menjadi pengiring perjalanan. Hingga sampailah kami di tempat parkir Coban Tengah. Tempat parkir ini tak luas, mungkin hanya mampu menampung 20 motor. 

Sebuah loket tiket sederhana nan asri berada di dekat gapura masuk. Tertera harga tiket masuk Rp 5.000 di kaca loket. Namun, tak kami temui petugas, mungkin belum datang. Ada dua motor terparkir di sebelah loket, mungkin milik pengunjung yang lebih dulu datang. Tepat di sisi gapura masuk, terdapat batu marmer peresmian Wana Wisata Coban Tengah. Ternyata, objek di Desa Pandesari, Kecamatan Pujon, resmi dijadikan destinasi wisata pada 15 Februari 2014.

Jalan setapak menuju air terjun
Rumah berteduh
Rehat sejenak

Gapura masuk ini unik juga. Tanaman rambat berbunga ungu menutupi seluruh bagian gapura. Dua patung kayu mengapit gapura laksana penjaga. Sebuah pesan menggelitik terpampang di sisi kiri gapura: no signal, no worry, feel the nature in harmony. Memang saya sempat mengecek, tak ada sinyal handphone. Namun, siapa yang peduli dengan dering handphone ketika telah menyatu dengan harmoni alam seindah ini.

Jalan berundak menurun menuntun kami menuju sungai. Tebing di kanan dan kiri pun semakin tampak tinggi menjulang. Kabut tipis di kejauhan menyelimuti  pepohonan tinggi di sepanjang tebing. Suara serangga dan kicau burung berpadu dengan gemericik air sungai. Kami cukup mengikuti jalan setapak di tepian sungai. Beberapa kali kami harus menyeberangi sungai dangkal ini lantaran jalan tersebut ternyata berkelok-kelok. 

Telaga dengan tempat duduk santai di tepinya
Gemericik air pancuran begitu menenangkan

Namun, medan menuju Coban Tengah tak terlalu ekstrem. Tak banyak tanjakan. Untuk menyeberang sungai pun, pengelola sengaja menata bebatuan berukuran besar untuk berpijak. Pengelola, tampaknya, memikirkan kenyamanan pengunjung. Terdapat sebuah rumah berteduh unik berbentuk segitiga. Jika hujan turun, rumah beratap kayu ini bisa menjadi tempat berlindung. Dua buah toilet dengan aksen-aksen unik pun telah dibangun di sana. 

Bukan hanya itu. Terdapat sebuah telaga kecil dengan pancuran bambu di salah satu sisinya. Pengunjung yang lelah berjalan bisa duduk-duduk santai di kursi dan meja kayu, tepat di bawah pohon di tepi telaga. Tanaman-tanaman beragam jenis menghiasi lokasi yang saya sebut sebagai rest area ini. Yang juga membuat saya salut, di tempat sealami ini, pengelola menyediakan sejumlah tempat sampah agar pengunjung tak meninggalkan sampah.

Photo booth di Coban Tengah
Unik dan menarik

Setelah sekitar 30 menit berjalan kaki, sampailah kami di air terjun Coban Tengah. Spot pertama yang mengundang perhatian kami adalah semacam photo booth berupa tulisan Coban Tengah dari kayu yang dipasang di antara dua pohon tinggi. Meski buatan, menurut saya, aksen ini tak mengurangi kealamian pemandangan Coban Tengah. Selain karena semua ornamen terbuat dari bahan-bahan dari alam, penempatannya tak mengganggu view utama.

Untuk melihat air terjun Coban Tengah secara utuh, kami tinggal bergeser sedikit dari spot photo booth. Penampakan air terjun ini benar-benar mengundang decak kagum. Baru kali ini saya melihat air terjun yang airnya keluar dari cekungan semacam gua di tebing tinggi. Air terjun deras setinggi 50 meter, tumpah di telaga yang luas, tapi dangkal. 



Air terjun setinggi 50 meter
Punya nama lain Coban Dudo
Air keluar dari gua

Menuruti naluri yang enggan berhenti, saya pun turun menuju sungai tepat di bawah air terjun. Airnya yang jernih dan dingin tentu saja tak kami sia-siakan. Membasuh muka, kaki, dan tangan wajib kami lalukan. Saya menatap lepas sekeliling air terjun. Tebing tinggi mengelilingi kami dan seolah memberi kami kesempatan menikmati sendiri air terjun ini. Dua keluarga pengunjung lain telah beranjak pulang sebelum kami sampai.

Bebas berfoto lantaran sepi pengunjung
Masih terjaga kealamiannya
Suatu hari akan kembali

Dan, saya pun mendapat jawaban mengapa air terjun ini dinamai Coban Tengah. Ternyata, Coban Tengah yang juga disebut Coban Dudo berada di antara dua air terjun lain, yaitu Coban Manten dan Coban Rondo. Dalam bahasa Jawa, manten berarti pengantin, dudo berarti duda, sedangkan rondo bermakna janda. Ketiga air terjun ini konon terkait sebuah legenda yang dipercaya oleh masyarakat setempat. 

Asal-usul Coban Tengah pun cukup memikat perhatian. Air terjun ini berasal dari kisah sepasang pengantin yang baru saja melangsungkan pernikahan. Mempelai wanita bernama Dewi Anjarwati dari Gunung Kawi, sedangkan mempelai pria bernama Raden Baron Kusuma dari Gunung Anjasmoro.

Kedua orang tua Dewi Anjarwati melarang sepasang pengantin ini bepergian karena baru selapan (sekitar satu bulan) menikah. Namun, sepasang sejoli ini bersikeras pergi dengan keberanian menerima risiko apa pun. Dalam perjalanan, keduanya dikejutkan dengan kehadiran Joko Lelono yang tidak diketahui asal-usulnya. Tampaknya, Joko Lelono terpikat akan kecantikan Dewi Anjarwati dan berusaha merebutnya dari tangan Raden Baron Kusuma.

Perkelahian pun tak dapat dihindarkan. Kepada para pengawalnya, Raden Baron Kusuma berpesan agar Dewi Anjarwati disembunyikan di suatu tempat yang ada air terjunnya (coban). Perkelahian berlangsung lama dan sengit. Kedua pria ini akhirnya meninggal di Coban Tengah (yang akhirnya dinamai Coban Dudo). Dewi Anjarwati pun menjadi seorang janda (rondo). Sejak saat itulah, air terjun tempat Dewi Anjarwati menunggu suaminya itu disebut Coban Rondo. 

Jika tak ingat bahwa waktu telah merambat siang, mungkin saya bisa lebih lama berada di sini. Ah, saya ingin suatu hari membawa keluarga ke sini. Saya yakin mereka menyukai tempat ini. Coban Tengah, tunggu kami kembali, menyatu dalam harmonimu. (*)

You Might Also Like

26 comments

  1. Saya suka tempat wisata yang masih alamiah. Dan Coban Tengah sangat alami.. mungkin juga gegara sepi pengunjung jadi lebih nyaman lagi. Pokok e rekomended buat tadabbur alam

    ReplyDelete
    Replies
    1. Samaaa, hehe. Padahal saat itu hari Minggu, tapi sepi banget. Semoga tetep seperti ini. Hehe.

      Delete
  2. Kebayang segarnya ada disana. Semoga dapat selalu terjaga kelestariannya seperti ini.
    Semoga juga suatu hari nanti saya bisa kesana. :))

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amiiiin. Insya Allah ga nyesel kalo Mas Adji berkunjung ke sini.

      Delete
  3. Waahhh... airnya dingin ya mas? Asik tuh nyeburrr...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Airnya dingin dan jernih, tapi dangkal Mas, ga bisa buat berenang, hehe

      Delete
  4. bisa buat reffrensi lokasi LDK tahun depan...biar ndk hanya di cuban rondo terus pak Mas Edy...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Setuju, Pak Pur. Coba kita usulkan ke pengurus OSIS tahun ini. Hehe.

      Delete
  5. Suka banget ama pesan "No Signal, No Worry, Feel The Nature, In Harmony"
    klo aku sih biasanya emang pas di tempat wisata kumatiin sinyal HP,lumayan hemat baterai

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jadi bener-bener menikmati alam tanpa gangguan HP ya. Mantaap!

      Delete
  6. Ada coban dudo, Coban Rondo dan di tengah-tengahnya coban Tengah. Pintat aja yang kasih nama ya Mas. Oh ya saya pernah ke Coban Rondo dan pemandangan kiri kanan jalan menuju kesana memang indah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Legenda kerap jadi kisah di balik indahnya tempat wisata ya, Mbak

      Delete
  7. Ah senangnya main ke air Terjun seperti ini. Membuat kita lebih dekat dan menghargai Alam. Dari namanya awal saya baca, kok mirip Coban Rondo yang lebih dikenal ya? Oh ternyata tetangganya....

    ReplyDelete
  8. Menyatu dengan alam tapi tetap nyaman dan aman ya.

    Di foto pertama, air terjunnya kelihatan kecil. Ternyata setelah mas Edy masuk ke dalam frame, baru keliatan air terjun ini gede banget. Jadi penasaran sama legenda ini :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itulah gunanya ada model di dekat air terjun, Kak, hehehe

      Delete
  9. Bacanya Coban (pake C) apa Koban sih, mas ? Sepertinya kayak hiking ya kesana.. AKu seneng sih..tp suka males jalan...ada gojek kesana ? hihih

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bacanya "coban" pakai C, Kak Vika. Hehe. Bisa kok naik Gojek dari Batu, tapi tetep jalan 30 menit di lokasi.

      Delete
  10. Bener kata Nugie, aku kira cobannya kecil, tp begitu ada pembanding ukuran terlihat tinggi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jadi sah dan halal yang kalau foto di air terjun

      Delete
  11. Ga kalah bagus sama coban rondo ternyata...

    Dulu ke coban rondo sama temen2 angkatan... Pengen nyebut tapi pas ujan deres... Ya udalah... Akhirnya malah berteduh Mas.. Ahahahaha....


    Yy bikin males ke tempat wisata di malang tuh susah transportnya. Ta ga susah kl bawa kendaraan sendiri sih. Ahahaha.. Eh tp gtw skr kan udah ada banyak transportasi onlen yak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Kak, untung sekarang banyak pilihan moda transportasi online hehehe

      Delete
  12. Waaaahh..membaca cerita ini kayak beneran berada di Coban Tengah. Saya suka berwisata ke tempat yang gak bisa dijangkau sinyal selular. Biar lepas sejenak dari email dan whatsapp group yang ampun-ampunan jumlah chat-nya

    ReplyDelete