Gerimis menyapa saat kendaraan kami masuk ke areal parkir
Coban Baung. Siang itu mendung menggantung seolah ingin segera menumpahkan air
hujannya ke bumi. Namun, itu tak menyurutkan niat saya dan istri untuk
mendatangi air terjun ini. Bergegas kami melangkahkan kaki menuju loket tiket
yang dijaga dua bapak berseragam Perhutani. Seperti biasa, saya menyempatkan
diri bertanya jawab dengan petugas. Setidaknya saya harus tahu jarak tempuh dan
medan menuju air terjun. "Jika nanti hujan deras, sebaiknya langsung kembali ya, Mas," pesan si bapak petugas.
“Aku mau naik kuda lagi,” rengek Jindan.
Ini adalah permintaan ketiga bocah berusia 7 tahun itu. Yahya,
sang adik, pun tak mau kalah. Dia juga ingin naik kuda lagi. Rupanya, dua
putaran naik kuda belum cukup bagi dua anak yang tergolong aktif itu.
“Jindan, Yahya, kalian kan sudah dua kali naik kuda. Cukup ya,”
ujar sang ayah.
“Tapi kan aku belum naik kuda yang itu,” rajuk Jindan sambil
menunjuk seekor kuda berponi di sudut taman itu.
Sejarah bukan hanya rangkaian peristiwa
tanpa makna
Sejarah bukan hanya cerita pengantar
tidur belaka
Sejarah selalu memberi butiran-butiran
hikmah bijaksana
Sejarah menyimpan cerminan kehidupan
anak manusia
Tersebutlah kisah penuh angkara dari
bumi Singosari
Ken Endog dan Batara Brahma menjalin
asmara tanpa ikatan resmi
Lahirlah Ken Arok, nasib malang dialaminya
ketika masih bayi
Dia dibuang di tanah pekuburan dan
ditemukan seorang pencuri
Jarum jam menunjukkan angka 14.30 saat kami menyudahi
petualangan di Gunung Banyak, Batu. Terlalu siang untuk pulang. Kami memutuskan melanjutkan perjalanan ke
sebuah air terjun di kawasan Pujon. Teman saya meyakinkan bahwa tak butuh waktu
lama untuk mengunjungi air terjun yang dikenal dengan nama Grojogan Sewu ini. Benar,
tak lebih dari 30 menit, kami sudah sampai di tujuan.