MENGENAL SUKU SASAK DI KAMPUNG ENDE

10:08:00



Salah satu pemantik semangat saya saat mendatangi wilayah baru adalah bertemu dengan penduduk setempat dan mengenal adat istiadatnya. Menarik rasanya mengetahui kebiasaan, cara bertutur, sampai sudut pandang yang berbeda. Itulah mengapa saya antusias ketika mendatangi Kampung Ende di Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah. Di kampung yang berjarak tempuh 20 menit dari Bandara Internasional Lombok ini, saya berkenalan dengan suku Sasak. 


Begitu sampai di jalan masuk Kampung Ende, saya dan rombongan disambut sang pemandu. Beliaulah yang menemani kami dan memberikan penjelasan banyak hal seputar suku Sasak. Rupanya, kampung yang terdiri atas 30 bale tani (rumah adat) ini memang telah dipersiapkan untuk menerima wisatawan yang datang berkunjung. Penduduk dengan ramah menerima kami, bahkan mempersilakan kami mengintip rumah tempat mereka tinggal.

Suasana asri, banyak pohon rindang

Para pengunjung, termasuk saya, tertarik melihat dari dekat lantai rumah mereka yang terbuat dari campuran tanah liat dan kotoran sapi atau kerbau. Kotoran ini menjadi perekat. Fungsinya seperti semen. Setiap bulan, lantai ini kembali dipoles dengan kotoran hewan ternak itu agar tanah liat tidak terkikis atau berubah menjadi debu. Menurut saya, lantai ini tak lagi bau kotoran. Entah memang demikian atau ada masalah dengan indera penciuman saya hehehe.

Setelah menyambangi beberapa rumah adat yang sangat bersahaja ini, pengunjung Kampung Ende diminta berkumpul di halaman rumah salah satu warga. Kami disuguhi Tarung Peresean, yaitu sebuah seni bela diri antara dua pria, masing-masing bersenjata kayu pemukul dan tameng. Sasaran mereka adalah lengan dan punggung lawan. Tarung Peresean ditengahi seorang wasit yang melerai mereka jika pertandingan mulai tak terkendali. Pertunjukan berdurasi 5 menit ini diiringi tabuhan rancak gamelan Lombok oleh sekelompok pria di sudut arena. 

Tarung Peresean oleh pria dewasa
Tarung Peresean oleh bocah-bocah
Tingkah mereka mengundang tawa

Uniknya, setelah disajikan oleh para pria dewasa, seni yang dijadikan simbol kekuatan lelaki suku Sasak ini juga dimainkan oleh bocah-bocah berusia sekitar 5-6 tahun, termasuk sang wasit. Senjata dan pakaian yang mereka kenakan pun sama. Mereka bertelanjang dada, hanya memakai kain sarung dan ikat kepala khas Lombok. 

Bedanya, saat Tarung Peresean dimainkan para pria dewasa, para penonton dibuat tegang lantaran tak jarang senjata pemain tepat mengenai anggota tubuh lawan. Namun, saat anak-anak yang tampil, para penonton justru tergelak dan gemas. Tingkah dan ekspresi bocah-bocah itu memang polos dan mengundang tawa. 

Sapi penyumbang polesan lantai rumah
Sanitasi yang masih sederhana
Pengunjung berinteraksi dengan warga, ada yang memberi santunan
Kampung yang damai dan tenang

Selanjutnya, kami dipersilakan berkeliling desa untuk berinteraksi dengan para penduduk kampung. Tampak nenek yang asyik mengunyah sirih, ibu muda yang mengasuh anak, dan bocah-bocah yang berlarian girang. Meski siang itu matahari tepat berada di atas kepala, saya betah berada di sini karena banyak pohon rindang sehingga kami sesekali bisa berteduh. Terdapat pula beberapa balai-balai untuk kami duduk beristirahat. 

Namun, yang paling menyita perhatian pengunjung adalah gadis-gadis kecil yang menunjukkan keterampilannya menenun kain di balai-balai. Karena masih bocah, alat dan kain tenun mereka berukuran kecil. Mereka pun sepertinya tak sedang benar-benar berusaha menyelesaikan proses menenun. Mereka hanya mendemonstrasikan kelihaian mereka menyusun ratusan helai benang menjadi selembar kain tenun. 

Belajar menenun sejak kecil
Gadis kecil penenun, didampingi sang nenek
Ada proses pewarisan tradisi yang saya kagumi
Saya mengagumi kearifan lokal suku Sasak di kampung ini

Salah satu gadis kecil itu bernama Tamara. Dia baru duduk di kelas 3 SD. Meski baru satu tahun ini belajar menenun, dengan bimbingan sang nenek dan ibu, dia sudah mampu membuat selendang tenun dengan tangan mungilnya. Konon, setiap perempuan suku Sasak memang wajib bisa menenun. Bahkan, itu adalah salah satu syarat mereka untuk menikah. 

Proses regenerasi suku Sasak, menurut saya, patut diapresiasi. Anak-anak laki-laki mampu memainkan Tarung Peresean dengan baik. Sedangkan anak-anak perempuan tak mau kalah dengan kelihaiannya menenun. Sepertinya, ini memang cara sesepuh suku Sasak di sini untuk mengenalkan tradisi kepada anak cucunya. Semoga, budi pekerti luhur dan karakter baik juga mereka warisi demi memegang teguh kearifan lokal suku asli Lombok ini. (*)

You Might Also Like

22 comments

  1. Saya juga pernah ngeliat desa suku sasak, tapi yg di Sade.. sama2 pake kotoran sapi n kerbau juga lantainya.. tapi ga bau sih.. hhehehe...

    ReplyDelete
  2. Konon katanya kotoran kerbaunya berfungsi untuk menghangatkan saat cuaca dingin dan mendinginkan saat cuaca panas plusss pengusir nyamuk. Mau coba dirumah?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Leo coba dulu. Nanti kalo terbukti, aku ikutan hehehe

      Delete
  3. beruntungnya pi bisa liat beginian ehhe nice story!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waah, makasiih, mi. Iya, berasa beruntung bisa ke sini dan lihat aktivitas mereka

      Delete
  4. Mas Edy beruntung melihat bagaimana sebuah tradisi diwariskan melalui anak-anak perempuan kecil suku Sasak yang sedang menenun itu. Mereka belajar sambil bermain, seiring waktu keterampilan meningkat dan akhirnya ahli menenun. Menghasilkan kain-kain cantik seperti yang kita lihat sekarang

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Mbak, inilah yang membuat saya antusias berbagi ksiah mereka.

      Delete
  5. Syukur anak anak kecil masih mau menjaga tradisi menenun di tengah zaman modern sekarang.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Mas, anak zaman now yang masih menjaga tradisi

      Delete
  6. aku pengen coba nginep semalem di rumah itu hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, ide bagus, kak. Jadi lebih bisa menyelami kehidupan mereka ya

      Delete
  7. Keren banget mas, bisa datang langsung. Selama ini Aku baru tahu lewat TV & blog orang aja. Itu tainya diapain bisa sampe gak berbau ya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih, Kak.

      Katanya sih cuma dicampur tanah liat. Ga bau karena sudah kering. Waktu masih basah pasti bau hehe

      Delete
  8. Tahun lalu pernah ke Lombok karena tugas kantor. Cuma sempat lewat doang di dekat Kampung Ende pas pulang menuju bandara. Pengin juga kapan-kapan ke Lombok bukan karena kerjaan, dan bisa main-main ke tujuan wisata seperti ini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku ada ide, Kak. Ke Lombok tetep karena kerjaan, jadi tiket perjalanan dan hotel ditanggung kantor. Tapi, kita nambah dua-tiga hari buat liburan setelah kerjaan beres hehehe

      Delete
  9. Aku suka atapnya... Seneng liatnya... Dulu beberapa rumah di deket rumahku pake atap beginian.. Rumahnya ademm.... Dindingnya gedek bambu sih... Lantainya masih tanah.. Bisa dibilang orang yg pake atap beginian tu kurang mampu secara ekonomi.. Padahal yang pake atap genteng bisa saja lbh kekurangan karena kelilit utang. ������

    Sekarang udah gak ada... Semua pake genteng.... Padahal kalo sampe skr masih ada, bakalan seru... Kutulis di blog....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau gitu, Mas saja yang rumah beratap ijuk dan berdinding anyaman bambu. Jangan lupa berlantai tanah. Mantap, kan? Hehehe.

      Delete
  10. Betapa Kaya Indonesia dengan segala budayanya. Kearifan lokal yang mungkin menjijikan bagi sebagian orang, seperti mengepel dengan kotoran Sapi, justru ramah lingkungan dan efektif. Lombok panas banget kan?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Kang Aip, kawasan ini lumayan panas. Semoga kearifan lokal ini lestari.

      Delete
  11. Pas main ke sade dan main ke rumah warganya, mereka juga cerita pakai pup nya kerbau juga :D

    Cheers,
    Dee - heydeerahma.com

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya belum pernah ke Sade. Jadi konsepnya sama ya dengan Ende. Makasih infonya, Kak.

      Delete