Suatu siang yang sendu merayu pada musim kemarau, tiba-tiba saya
berhasrat mendatangi Kedung Peti. Bermodal informasi ala kadarnya, sepulang
mengajar, saya mengarahkan kendaraan menuju kawasan barat Bojonegoro. Tujuan
saya adalah Desa Malo di Kecamatan Malo. Tanpa ekspektasi, yang penting jalan. Jika
objek ini bagus, alhamdulillah. Jika tidak, saya sudah puas membunuh rasa
penasaran.
Sore pulang kerja, salah satu rutinitas saya adalah
membiarkan mata menjaring deretan notifikasi Instagram. Selain likes, komentar, dan followers baru (atau yang menghilang), tak
jarang mention atau tag dari akun lain cukup menyedot
perhatian. Jempol tangan kanan seolah dituntun untuk mengecek sebuah post tanpa menunggu lama. Begitu juga
yang terjadi sore itu. Nurdiansyah, murid saya yang kini telah resmi berseragam
polisi dan bertugas di Polda Jatim, menyebut akun Instagram saya dalam caption fotonya. Dia juga menandai saya
dalam post itu.
Berkunjung ke Kecamatan Gondang rasanya sehangat pulang ke
kampung halaman. Hutan jati sepanjang
perjalanan seolah menyapa. Perbukitan dan hamparan ladang jagung tak pelak memantik
kenangan. Semua seperti mengingatkan saya akan memori selama sepuluh tahun,
sejak 2005 hingga 2015, melintasi jalanan berkelok ini demi bertugas di SMA
Negeri 1 Gondang.
Gondang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten
Bojonegoro. Kawasan yang terletak di ujung selatan kabupaten ini didominasi
lahan hutan jati dan pegunungan. Tak
sedikit potensi wisata di kecamatan yang bersebelahan dengan Kabupaten Nganjuk
dan Madiun ini. Di antaranya, Air Terjun Kedung Gupit, Watu Gandul, Watu Gajah,
Gunung Pandan, dan sumber air panas Krondonan. Gunung dengan bebatuan marmer
dan onyx pun ada di sana.
Setelah menghabiskan sarapan pagi di rest area Waduk Selorejo Ngantang, kami
memutuskan melanjutkan perjalanan ke Grojogan Sewu di Dusun Tretes, Desa
Bendosari, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang. Kami hanya butuh waktu sekitar 20
menit untuk sampai di objek tujuan.
Pagi itu, cuaca cerah. Jam menunjukkan angka 07.30 saat
kendaraan kami sampai di lahan parkir Bendungan Selorejo. Cahaya matahari telah
maksimal menerangi kawasan wisata yang terletak di Desa Selorejo, Kecamatan
Ngantang, Kabupaten Malang, ini. Saya yang memang tak terlalu suka terpapar
sinar matahari berniat segera berteduh di bawah pohon rindang. Jika tidak
demikian, duduk lesehan di warung yang menyajikan beragam ikan air tawar
tampaknya menarik.
Jika ditanya, objek wisata alam apa yang sangat populer di
Malang, salah satu jawabannya pasti Coban Rondo. Tak salah jika air terjun yang
di terletak di Desa Pandesari, Kecamatan Pujon, ini menjadi primadona. Aksesnya
sangat mudah, bahkan bus besar pun bisa sampai lahan parkir. Selain itu,
kawasan Coban Rondo kini dilengkapi objek-objek menarik lainnya.
Suatu anugerah Tuhan yang luar biasa bagi saya. Pulau
Kalimantan, yang selama ini hanya saya lihat di video atau gambar, kini dapat
saya datangi. Sebuah tugas pelatihan membawa saya ke bumi Borneo ini, tepatnya
di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Selain tugas yang saya yakini memberi saya
banyak pengalaman dan teman, ada satu misi yang semakin membuat saya
bersemangat saat berkemas. Tentu saja pesona alam atau budayanya. Saya sadar,
kesempatan menjelajah alam Kalimantan Selatan bukanlah tujuan utama. Karena
itu, saya harus bersabar merampungkan urusan pekerjaan sambil mengumpulkan
informasi tentang objek alam dan budaya yang menarik di Kalimantan Selatan.
Salah satu hal yang saya sukai dari air terjun adalah airnya
yang jernih dan dingin. Akan lebih menarik jika di dasar air terjun terdapat
telaga untuk berendam atau berenang. Semua terasa lebih sempurna jika objek ini
sepi pengunjung. Itulah yang saya temukan di Sendang Putri Wilis. Objek wisata nonkomersial
yang terletak di Desa Ngliman, Kecamatan Sawahan, Nganjuk, ini memberi sensasi
kesegaran alami.
Marhaban ya Ramadhan. Selamat datang, bulan penuh rahmat
dan ampunan. Ya, Ramadhan telah menyapa umat Islam. Karena berharap mendulang pahala
berlipat ganda, pada bulan suci itu, kaum muslimin umumnya berlomba-lomba
meningkatkan ibadah. Bukan hanya puasa, tetapi juga ibadah lainnya seperti salat
tarawih, tadarus, zakat, sedekah, dan masih banyak yang lainnya.
Percaya atau tidak, Desa Ngliman, Kecamatan Sawahan, Nganjuk,
ternyata memiliki sebelas air terjun. Sekali lagi, semua berada di satu desa,
bukan satu kota. Sedudo merupakan air terjun yang paling populer. Sepuluh air
terjun lainnya masih bisa dibilang alami karena belum tersentuh pembangunan
fasilitas tambahan layaknya objek wisata. Terang saja saya geleng-geleng kagum
mendengar keterangan warga yang saya temui di Air Terjun Gedangan itu. Dengan
mudah, saya percaya karena Desa Ngliman memang berada di lereng Gunung Wilis yang
dilimpahi banyak sumber air alami.
Salah satu yang seru saat traveling
adalah menemukan objek baru yang sama sekali tidak direncanakan sebelumnya. Makin
seru lagi jika objek tersebut ternyata menarik dan masih “perawan”. Itulah yang
saya alami saat berkunjung ke Desa Ngliman, Kecamatan Sawahan, Nganjuk. Maksud
hati hanya mendatangi Bukit Watu Lawang dan Air Terjun Sedudo, tetapi ternyata
ada tiga air terjun lain yang masih alami, yaitu Air Terjun Gedangan,
Singokromo, dan Putri Wilis. Kali ini saya mengulas Air Terjun Gedangan.
Turun dari Bukit Watu Lawang, saya tancap gas menuju Air
Terjun Sedudo. Saya belum pernah mengunjungi objek wisata yang sebenarnya sudah
sangat populer di Nganjuk dan sekitarnya ini. Karena itu, saya tak mau menyia-nyiakan
kesempatan. Tiket seharga Rp 10 ribu sudah di tangan, lokasinya pun tak jauh
dari Bukit Watu Lawang. Saya juga penasaran seperti apa kondisi Sedudo kini setelah
ditutup beberapa bulan lantaran pernah terjadi musibah tebing longsor hingga
merenggut tiga nyawa pengunjung.
Kesan saya tentang
Nganjuk selama ini ternyata salah besar. Beberapa kali mendatangi kota dan
sejumlah kecamatan, kesan saya, kota berjuluk Kota Angin itu bercuaca panas.
Ternyata, ada satu kecamatan di sana yang berudara sejuk. Namanya Kecamatan
Sawahan. Berada di lereng Gunung Wilis, Kecamatan Sawahan memiliki sejumlah
destinasi wisata alam seperti bukit, air terjun, dan persawahan. Kamis, 5 Mei
lalu, saya menghabiskan waktu seharian untuk mendatangi lima objek menarik di
sana. Kali ini, saya akan mengulas Bukit Watu Lawang.
Detik-detik matahari menghilang di balik cakrawala ufuk barat
tak jarang memberi nuansa syahdu tak terlupa. Semburat jingga di langit senja
menggoreskan suasana yang berbeda. Meski tak lama, hadirnya mampu mengundang
pesona. Itulah mengapa tak sedikit penikmat senja yang meluangkan waktu khusus
untuk menikmatinya di tempat yang indah. Pantai kerap menjadi pilihan utama.
Hari merambat sore. Deru bising kendaraan bersahutan dengan
klakson di jalan utama Purwodadi-Malang. Rupanya, kepadatan lalu lintas
menyebabkan kendaraan-kendaraan itu rapat merayap. Rasanya tak bertahan lama
hidung ini menghirup udara berpolusi. Tak
mau terjebak kemacetan, saya pun mengarahkan motor ke pintu gerbang Kebun Raya Purwodadi, Pasuruan.
Gerimis menyapa saat kendaraan kami masuk ke areal parkir
Coban Baung. Siang itu mendung menggantung seolah ingin segera menumpahkan air
hujannya ke bumi. Namun, itu tak menyurutkan niat saya dan istri untuk
mendatangi air terjun ini. Bergegas kami melangkahkan kaki menuju loket tiket
yang dijaga dua bapak berseragam Perhutani. Seperti biasa, saya menyempatkan
diri bertanya jawab dengan petugas. Setidaknya saya harus tahu jarak tempuh dan
medan menuju air terjun. "Jika nanti hujan deras, sebaiknya langsung kembali ya, Mas," pesan si bapak petugas.
“Aku mau naik kuda lagi,” rengek Jindan.
Ini adalah permintaan ketiga bocah berusia 7 tahun itu. Yahya,
sang adik, pun tak mau kalah. Dia juga ingin naik kuda lagi. Rupanya, dua
putaran naik kuda belum cukup bagi dua anak yang tergolong aktif itu.
“Jindan, Yahya, kalian kan sudah dua kali naik kuda. Cukup ya,”
ujar sang ayah.
“Tapi kan aku belum naik kuda yang itu,” rajuk Jindan sambil
menunjuk seekor kuda berponi di sudut taman itu.
Sejarah bukan hanya rangkaian peristiwa
tanpa makna
Sejarah bukan hanya cerita pengantar
tidur belaka
Sejarah selalu memberi butiran-butiran
hikmah bijaksana
Sejarah menyimpan cerminan kehidupan
anak manusia
Tersebutlah kisah penuh angkara dari
bumi Singosari
Ken Endog dan Batara Brahma menjalin
asmara tanpa ikatan resmi
Lahirlah Ken Arok, nasib malang dialaminya
ketika masih bayi
Dia dibuang di tanah pekuburan dan
ditemukan seorang pencuri
Jarum jam menunjukkan angka 14.30 saat kami menyudahi
petualangan di Gunung Banyak, Batu. Terlalu siang untuk pulang. Kami memutuskan melanjutkan perjalanan ke
sebuah air terjun di kawasan Pujon. Teman saya meyakinkan bahwa tak butuh waktu
lama untuk mengunjungi air terjun yang dikenal dengan nama Grojogan Sewu ini. Benar,
tak lebih dari 30 menit, kami sudah sampai di tujuan.
Setelah menonton atau mencoba sendiri paralayang di Gunung Banyak, Dusun Brau, Desa Gunungsari, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, jangan
buru-buru turun. Luangkan waktu sebentar untuk mencoba sensasi Omah Kayu. Destinasi
ini unik. Pengunjung bisa menginap atau sekadar bersantai di rumah dan ambalan
yang terbuat dari kayu. Ini bukan rumah atau ambalan biasa karena berada di
batang-batang pohon pinus. Dengan view
pegunungan, sawah, kebun, dan pemukinan dari ketinggian, tak sedikit pengunjung
yang lupa waktu.
Semakin banyak tempat yang saya datangi, semakin saya
menyadari betapa berharganya kebersamaan dengan seseorang yang punya ruang
istimewa dalam hati. Tak bisa dipungkiri bahwa yang terpenting bukan hanya
tentang di mana, melainkan juga bersama siapa kita menghabiskan waktu. Ada rasa
yang menguap hilang ketika detik-detik bergulir tanpa dia di sisi. Keindahan
alam yang tersaji pun seolah tak jenak dinikmati sendiri. Ingin rasanya selalu
berbagi pesona itu dengannya. Dia adalah pendamping hidup saya.
Manusia memang tak pernah puas. Ditakdirkan mampu berjalan
saja tak cukup bagi makhluk Tuhan yang dikaruniai paket lengkap akal dan nafsu
ini. Manusia ingin bisa berenang seperti angsa, menyelam seperti ikan, dan
terbang seperti burung. Dengan akalnya, manusia pun berusaha memenuhi nafsunya.
Beragam alat dan cara ditemukan untuk berenang, menyelam, dan terbang. Salah
satu penemuan manusia untuk terbang adalah paralayang. Jika ingin mencoba,
datang saja ke Gunung Banyak di kawasan Kota Batu.
Salah satu daerah bersuhu dingin di Jawa Timur adalah Kota
Batu. Tak pernah bosan rasanya menjelajahi kota yang dulu menjadi bagian dari
Kabupaten Malang ini. Akhir tahun lalu, saya sengaja mendatangi sejumlah
destinasi di Batu. Taman Labirin Coban Rondo mengawali tulisan saya tentang
Batu. Dengan perlengkapan traveling koleksi Eiger di Zalora, jalan-jalan terasa
lebih nyaman.
Gua Tetes merupakan salah satu lokasi wisata yang telah lama
dikelola oleh warga Desa Sidomulyo, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang. Namun,
seiring melambungnya nama Coban Sewu yang menarik banyak pengunjung, Gua Tetes
kini kembali bergairah. Maklum, Gua Tetes berdekatan dengan Coban Sewu. Pengunjung
dari arah Lumajang akan melewati Gua Tetes dan Air Terjun Telaga Biru sebelum
menikmati Coban Sewu. Sedangkan pengunjung dari Malang, bisa menjelajahi Air
Terjun Telaga Biru dan Gua Tetes setelah membuktikan keindahan Coban Sewu.
Selepas merasakan sensasi megah dan indahnya Coban Sewu, saya
dan istri tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Kami telah menggadaikan nyali
untuk turun tebing melalui tangga bambu yang lumayan ngeri-ngeri sedap. Begitu sudah
sampai dasar tebing, sayang kalau langsung kembali. Kami sepakat mendatangi dua
air terjun berikutnya di dasar tebing itu, yaitu Air Terjun Telaga Biru dan Air
Terjun Gua Tetes.
Sejak foto dan video Coban Sewu tersebar di media satu tahun
lalu, sejak itu pula hasrat saya seolah tak terbendung untuk datang dan menyaksikan
sendiri keindahannya. Sebab, menurut saya, air terjun yang juga dikenal dengan nama
Tumpak Sewu ini istimewa, tak seperti air terjun-air terjun lain yang pernah
saya datangi. Alhamdulillah, kesempatan itu datang di penghujung Desember 2015.
Meski tersiar kabar medan menuju Coban Sewu sangat ekstrem, saya yang hanya
berdua dengan istri sama sekali tak ragu.